Rabu, 07 Desember 2011

Biarkan Waktu Yang Menjawab

Diposting oleh Decy Chintya Anca di 04.22
Sore yang cerah, Nesha duduk di bangku taman kota. Di tengah keramaian orang-orang disekitar, dia menikmati kesendiriannya. Dia melihat beberapa orang lainnya yang asyik mengobrol. Semilir angin menerbangkan helaian rambutnya. Lama kalamaan, langit mulai menampakkan keindahannya. Disaat itu pula, sebenarnya ia membutuhkan seorang teman yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Apalagi saat ini hatinya dilanda kesedihan. Tanpa ia sadari seseorang meperhatikan lamunannya. Dan kini orang itu menghampirinya.
“Hai, namamu siapa?” ucap seorang laki-laki dihadapannya. Tepatnya orang yang dari tadi memperhatikannya. Wajahnya  tampan.
“Aku Nesha.” Ucapnya kemudian. Dahinya mengkerut heran. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya.
“Aku melihatmu melamun saja dari tadi?” Ucapnya lagi.
“Kamu siapa?” Tanya Nesha ragu-ragu.
“Oh ya.. Aku lupa. Aku Morgan.” Ternyata namanya Morgan.
“Pasti kamu heran, karena tiba-tiba aku menghampirimu.” Morgan tersenyum, memamerkan lesung pipit di kedua pipinya.
“hmm.. iya..” seakan dia tahu apa yang Nesha pikirkan.
“Aku Cuma ingin berteman denganmu kok!” ujar Morgan singkat. Dia menatap Nesha dengan sorot mata yang teduh. Matanya indah dengan bola mata berwarna coklat. Lalu Morgan mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
“Kita sekarang berteman.” Ucapnya kemudian. Nesha membalas uluran tangannya. Masih dengan rasa heran, namun Nesha berharap Morgan adalah orang yang dikirim Tuhan untuk menemani kekosongan hatinya.

Siang ini, terik matahari terasa membakar tubuh. Keringat serasa membanjiri seluruh tubuh Nesha. Padahal baru beberapa detik dia berdiri di depan sekolah tengah menunggu bis kota yang setia mengantarkannya kemanapun dia mau pergi. Sesekali, ia menghapus keringat yang mengalir dikeningnya.
“Mana ya bis kotanya? Kok nggak ada yang lewat?” Gumam Nesha dalam hati. Sesaat kemudian, sebuah motor vixion hitam berhenti didepannya. Dan si pemilik motor membuka kaca helmnya.
“Nesha, belum pulang?” Tanyanya.
“Morgan!” Nesha menyambutnya dengan riang. Sudah beberapa waktu ini, Nesha mulai mengenal Morgan. Kepribadiannya benar-benar membuat Nesha mengaguminya. Dia bergitu berfikiran dewasa. Apalagi, setelah Nesha menceritakan tentang hal yang selama ini membuat Nesha selalu sendiri, tanpa seseorang yang berarti.
“Nes, pulang bareng yuk!” Ucap Morgan sambil tersenyum. Dia juga masih mengenakan seragam sekolah yang Nesha kenal sebagai salah satu sekolah favorit itu. Nesha mengangguk dan naik ke motor Morgan.
“Morgan, main kerumahku yuk!” ujar Nesha memecah keheningan. Morgan tampak kelelahan, sehingga ia tidak berbicara saat di perjalanan. Wajahnya tampak pucat.
“Maaf Nes, aku harus ke rumah sakit.” Ucap Morgan.
“Rumah sakit? Siapa yang sakit?”Nesha tercengang.
“Sepupuku.” Jawabnya dengan singkat. Nesha sempat merasa aneh dengan Morgan.
“Terima kasih. Aku duluan ya..” Ucap Nesha ketika sampai di depan rumahnya.
“Iya, sama-sama. Oh ya.. Ini buku yang kemarin aku pinjam.”  Morgan menyerahkan sebuah buku pada Nesha. Nesha pun mengangguk dan kemudian melambaikan tangan ke arah Morgan.

                Hari ini, hari minggu. Mama dan Papa Nesha tidak ada di rumah. Nesha menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia benar-benar kelelahan setelah membersihkan kamarnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada buku yang dipinjam Morgan kemarin. Dia meraihnya dan membuka halaman pertamanya. Dia belum sempat membaca, namun tiba-tiba Nesha kaget ketika menemukan sebuah buku panduan kecil yang berjudul “Kanker” yang terjatuh.
“Kanker? Morgan membaca buku kanker? Untuk apa? “ Nesha bertanya-tanya dalam hati.
“Jangan-jangan...” Nesha membuang semua pikiran buruknya. Dia mencoba berfikir positif. Kemudian dari bawah terdengar ketukan pintu. Nesha bergegas membukanya.
“Morgan?” Ucapnya kaget. Baru saja Nesha memikirkannya, sekarang dia dihadapannya.
“Hai Nes, boleh aku masuk? Hehehe..” Morgan tertawa kecil.
“Oh iya.. Aku hampir lupa. Silahkan masuk, Morgan.”
“Pada kemana sih? Kok sepi?” Morgan menengok ke kanan dan ke kiri.
“Pada pergi. Eh mau minum apa?”
“Mmm.. Air putih aja deh.” Jawab Morgan. Nesha mengmbilkan segelas air untuk Morgan.
“Eh Nes, gimana? Kamu udah menemukan sosok pria yang bisa menjagamu?” Pertanyaan Morgan membuat jantung Nesha berdebar. Nesha menggeleng pelan. Padahal, Nesha berharap Morgan la h sosok pria yang menjaganya.
“Nes, dengarkan aku. Kamu tak perlu jadi sensi gitu sama cowok. Mungkin kamu belum menemukan sosok yang tepat. Percayalah akan selalu ada cinta yang lain untukmu. Akan selalu ada sosok lain yang akan menjagamu dengan hati yang tulus.” Morgan tersenyum tipis. Nesha mengangguk, membenarkan kata-kata Morgan. “Biar waktu yang menjawab , Nes. Apa yang akan terjadi nanti, yang jelas sesuatu yang indah akan selalu ada untuk dilewati. Asal kita percaya bahwa takdir itu benar-baner terjadi.”
“iya, Morgan. Aku percaya itu.” Nesha menghela nafas panjang.
“Termasuk pertemuan antara kaku dan kamu, Nes. Aku berharap, akan selalu dekat denganmu., sampai saat terakhirku.” Morgan berkata pelan.  Nesha heran mendengar perkataan Morgan.
“Ah tidak apa-apa. Nes, sisi terindah dalam hidupku adalah pertemuan kita. Pertemuan aku dan kamu dibawah langit senja.” Morgan benar, kata-katanya membuat Nesha beruntung bisa mengenalnya.

Sudah bebrapa minggu ini, Nesha kehilangan kabar Morgan. Handphonenya juga tidak pernah aktif. Setelah ia tanya kepada teman sekolah Morgan, Morgan sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Pertemuan terakhirnya dengan Morgan, saat Morgan datang ke rumah Nesha hari minggu itu. Nesha memutuskan untuk datang ke rumah Morgan. Dan berharap tidak terjadi apa-apa dengan Morgan. Nesha menyusuri jalan sekitar tempat tinggal Morgan. Morgan pernah memberitahukan alamat ini padanya.
“Maaf pak, apakah bapak tahu alamat ini?” Nesha bertanya kepada seorang bapak yang lewat. Bapak itu mengangguk dan bersedia menunjukkan rumah Morgan.
Namun Nesha tercengang ketika melihat orang-orang berbaju hitam berdatangan ke rumah itu. Bendera kuning juga tampak menancap di halaman rumah. Apa artinya? Nesha mendekat ke rumah Morgan. Berusaha berani mengetahui apa yang terjadi.
“Morgan??” Ucapnya tak percaya. Airmatanya mulai mengalir dan semakin deras. Rasa kehilangan langsung menyelimuti hatinya saat mengetahui orang yang mulai dia cintai meninggalkannya untuk selamanya.
“Nak Nesha?” Tanya seorang ibu disamping Nesha, yang sepertinya dia adalah ibunya Morgan. Dan Nesha mengangguk cepat.
“Ibu adalah ibunya Morgan.” Kesedihan jelas tergambar di wajahnya, hanya saja ia berusaha tegar.
“Bu, mengapa Morgan bisa begini? Saya tidak bisa mempercayainya.” Nesha berkata sambil terisak.
“Ada yang belum kamu ketahui tentang Morgan. Morgan mendrita kanker paru-paru. Dia sangat membutuhkan seorang teman yang bisa memberi arti penting dalam hidupnya disaat-saat terakhirnya. Dia bilang, menjaga Nesha. Ibu sangat sedih nak.” Jelas ibu Morgan panjang lebar.
Nesha tidak dapat membendung airmatanya. Dia memandang mata Morgan yang telah dibalut kain kafan dengan hati miris.
“Satu hal yang sangat berkesan dalam hidupnya adalah mengenal kamu.” Kata ibu Morgan lagi.
“Aku mulai mengerti. Buku kanker, Wajah Morgan yang terlihat pucat dan kelelahan, Rumah sakit, Terakhir kali Morgan datang ke rumah dan mengatakan saat terakhir. Apakah ini jawaban dari waktu?” Jeritnya dalam hati.
Nesha tak mampu berbicara. Seluruh raganya seolah melayang mengejar bayangan Morgan. Dam kini yang ada dihadapannya hanyalah jasad Morgan. Nesha merasa jiwa dan raganya telah pergi bersama rindu dan cintanya pada Morgan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Decy Chintya Delova - Cerpen Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting